Budaya Membaca, Membuka Jendela Dunia
Budaya Membaca,
Membuka Jendela Dunia
Oleh Fransiskus
Ndejeng*
Judul di atas terinspirasi dari buku Bahasa Indonesia kelas
empat Sekolah Dasar tahun 1970-an. Ditulis, “Membaca Jendela Dunia”. Ada lagi
tulisan menarik pada suatu topik buku itu, barang siapa menyayangi kucing,
masuk surga. Sebaliknya, barang siapa menyakiti binatang, masuk neraka.
Point-nya, budaya membaca dapat membuka cakrawala dunia kehidupan kita.
Mengapa?
Bandingkan budaya membaca siswa-siswi negara maju seperti
Jepang, Amerika, dan beberapa negara di Eropa seperti Inggris, Jerman, Swiss,
dihitung sangat tinggi budaya membaca. Sedangkan negara-negara miskin dan
berkembang masih rendah. Ini data yang biasa dirilis oleh Programme for
International Student (PISA) beberapa tahun terakhir untuk negara- negara di
dunia. Pisa mengukur kekuatan, potensi kebiasaan dan budaya membaca siswa-siswi
di setiap negara di dunia.
Menarik kalau merunut budaya membaca siswa-siswi di negara
kita. Boleh dikatakan budaya membaca siswa kita masih rendah. Dari 10 orang
siswa dalam satu kelas pada suatu tingkatan, hanya satu orang siswa saja yang
biasa dan rajin membaca. Berarti hanya 0,1% saja yang biasa membaca. Dianalogi,
setiap 1000 orang siswa hanya 100 saja yang biasa membaca.
Oleh sebab itu, Presiden Jokowi pada Kabinet Kerja Jilid I,
mengeluarkan peraturan pemerintah tentang menghidupkan kembali literasi di
sekolah dan masyarakat. Sejalan dengan pendidikan karakter dan atau budi
pekerti. Budi pekerti mendidik dan mengajari niat dan rasa. Olah pikir, olah
hati, dan olah rasa. Serta olah badan (kinestik). Sebab, presiden telah
mengambil kebijakan pemerintah setelah membaca data hasil press release PISA,
yang sungguh memalukan bagi peradaban bangsa kita yang “masih rendah” kebiasaan
dan budaya membaca.
Dari hasil pengamatan penulis selama ini, yang terjadi pada
lembaga pendidikan, perpustakaan daerah dan perpustakaan sekolah, tidak bisa
dipungkiri. Fakta menunjukkan, setelah merekap data tentang kunjungan ke
perpustakaan dari siswa setiap hari, setiap minggu, setiap bulan dan setiap
tahun menunjukkan gejala yang sama. Artinya, kebiasaan dan budaya membaca siswa
kita masih rendah. Menunggu kalau disuruh dan didorong mengunjungi perpustakaan
karena dipaksa bukan kesadaran. Karena tugas-tugas dari guru.
Saya biasa mengecek kebiasaan siswa di rumah atau pun di
sekolah, menanyakan tentang siapa yang pernah membaca koran setiap hari. Dari
setiap kelas yang saya tanya tentang kebiasaan membaca koran, hanya satu atau
dua orang siswa saja dari 30 orang siswa dalam kelas itu yang biasa membaca
koran. Data ini memperkuat data yang dirilis PISA tentang kebiasaan dan budaya
membaca siswa negara kita tergolong “masih rendah”. Berada urutan buntut, 68
dari 70 negara sampel.
Dimana kesalahannya? Kita tidak sedang mencari kesalahan
satu sama lain. Namun, dapat dijadikan pelecut untuk mengevaluasi dan
merefleksi setiap langkah kebijakan pemerintah, sekolah, orang tua dan
masyarakat
Beberapa tulisan saya terdahulu, menggugat tentang kebiasaan
dan budaya membaca di kalangan siswa. Taman baca sepi pengunjung. Perpustakaan
sekolah kurang diminati kalau tanpa paksaan guru. Kita tahu, bahwa perpustakaan
sebagai “gudang ilmu”. Kalau siswa rajin membaca, maka jendela dunia dapat
dilihat selebar-lebarnya. Sebaliknya, kalau kurang membaca, maka dunia hanya
selebar daun kelor saja.
Saya teringat seorang publik figur, Pater Budi Kleden, SVD,
sekarang jadi pejabat Generalat Misi SVD sejagat, bermukim di Roma, Italia. Dia
pernah menceritakan tentang kebiasaan membaca yang begitu membudaya. Setiap
hari, ketika berjalan di jalan, kebetulan melihat sepotong kertas yang terbuang
di pinggir jalan, beliau memungut, mengambil dan membaca apa kalimat yang
tertulis pada sepotong kertas itu. Lalu merenung dan dapat dijadikan sebagai
bahan baku tulisannya di opini berbagai surat kabar. Luar biasa, saya jadi
kangen dengan pastor ini.
Bagaimana cara menumbuhkan kebiasaan dan budaya membaca
dikalangan siswa kita?
Pertama, program pemerintah tentang literasi sudah berjalan.
Namun, sejauh ini, saya mengamati hanya proyek oriented. Menghabiskan anggaran
pemerintah. Semangat tahi ayam, suam-suam kuku. Buktinya, kebanyakan taman baca
kita di tengah masyarakat sepi pengunjung. Perpustakaan daerah kurang
pengunjung, hampir-hampir tidak ada siswa yang berkunjung. Perpustakaan sekolah
dikunjungi jika ada tugas dari guru. Solusinya, bagi orang tua, guru, pemangku
kepentingan senantiasa memotivasi tanpa henti, bersama menanamkan kebiasaan
membaca sebagai jendela dunia. Tanpa itu, kapan lagi siswa kita dapat bangkit
untuk melihat dunia selebar buana bukan selebar daun kelor tanpa membaca.
Kedua, guru di sekolah harus memiliki minat baca yang
tinggi. Dengan itu, guru bisa mendorong siswa di sekolah agar kebiasaan membaca
bagi setiap siswa terus ditumbuhkan. Berawal dari minat, lama-lama jadi
kebiasaan yang membudaya. Membaca menjadi kebutuhan.
Tentu, bapa ibu guru juga rajin membaca tidak hanya bidang
yang digeluti masing-masing kita. Perlu memperluas wawasan membaca bidang
lainnya sebagai bahan refleksi bagi siswa kita. Misalnya, koran dan berita
online.
Ketiga, mendorong siswa menuangkan hasil bacaan dalam
tulisan yang bisa dimuat di Majalah Dinding Sekolah. Ekspresi dalam puisi.
Tulisan artikel ilmiah kecil-kecilan. Puisi-puisi cinta, alam semesta dan
sosial. Cerita pendek. Cerita gambar (Sergam). Referensi buku teks. Guntingan
koran. Portofolio.
Banyak ide kreatif akan muncul dari alam pikiran siswa kita
bila terbiasa. Karena dari kebiasaan membaca dapat mengerjakan dan memecahkan
masalah besar sesuai tingkat kesulitannya. Soal test tingkat sedang dan tinggi
bisa dielaborasi untuk dipecahkan.
Keempat, menumbuhkan kebiasaan membaca yang membudaya dapat
menjadi penulis hebat generasi masa depan. Terus didorong agar tidak putus di
tengah jalan harus bangkit bersama langkah pasti bersama kiwi. Hehehe… Semoga
SMPN 1 Komodo