
Tindakan Kekerasan Guru Di Sekolah Berdampak Traumatis
Tindakan Kekerasan Guru Di Sekolah Berdampak Traumatis
Oleh : Fransiskus Ndejeng *)
AKHIR-akhir ini hampir setiap hari, media virtual dan media cetak menyajikan berita tentang tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa, baik orangtua di rumah maupun oleh guru di sekolah. Tindakan kekerasan yang bersifat verbal maupun yang bersifat non verbal (fisik). Tindakan kekerasan verbal berupa memberi label tertentu pada anak dan atau siswa di kelas. Misalnya, kalau siswa tidak bisa mengerjakan soal matematika disebut kau seperti ‘ndesi labos’ (sejenis labu yang tumbuh tidak berbuah, dan tidak bermanfaat). Ada lagi ocehan diolok-olok dengan sebutan pasien rumah sakit Siloam kepada siswa yang tidak mengerjakan tugas (PR).
Ada lagi kecendrungan lainnya, seperti pekerjaan rumah siswa tidak diperiksa (dikoreksi), dan tidak bertanggungjawab dengan tugas pokok yang diberikan kepala sekolah sesuai dengan amanat tugas keprofesian yang dia sandang, sesuai amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003, Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 tahun 2005.
Kekerasan non verbal, misalnya guru menghukum siswa dengan cara berlutut, dilarang mengikuti KBM ketika siswa terlambat masuk kelas, tanpa komunikasi dan tanya jawab secara baik-baik dan terbuka. Sebaliknya, ketika guru terlambat masuk kelas, siapa yang memberi hukuman ?
Masih banyak contoh lain hukuman terhadap siswa di kelas yang biasa dilakukan guru di lingkungan pendidikan. Antara lain; menghujat, menghina, memvonis, kau siswa nakal, kau siswa pemalas, dan sebagainya, tanpa ada refleksi terhadap diri sang guru tersebut, secara paedagogik dan psikologis orang dewasa yang berbeda dengan siswa sebagai anak remaja. Ada kecendrungan guru sebagai orang dewasa, memiliki sifat superior di hadapan anak dan siswa. Merasa diri paling hebat. Merendahkan harga diri dan martabat anak dan siswa sebagai manusia unik dan utuh. Singkatnya, ada beraneka jenis perlakuan guru yang dianggap melanggar kode etik guru dan merendahkan martabat manusia, terutama anak dan siswa di sekolah serta perlakuan diskriminatif terhadap siswa. Padahal, guru dan siswa memiliki martabat yang sama di hadapan hukum dan Tuhan.
Sejalan dengan pesan titah Alkitab; jangan pernah berpikir bahwa anak kita yang masih kecil tidak tahu apa-apa. Justru mereka sangat peka untuk menangkap semua informasi dan semua perbuatan yang kita lakukan. Ingatlah bahwa anak merupakan titipan dan anugerah yang Tuhan percayakan kepada kita, orangtua di rumah dan guru di sekolah. Oleh karena itu, jadilah orangtua dan guru yang bijaksana dan bertanggungjawab untuk anak didik kita.
Menurut data yang telah dirilis Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dari hasil survey Internasional Center for Reasearch on Women ( ICRW); sebanyak 84 % anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Angka kasus di sekolah di Indonesia lebih tinggi dari Vietnam (79%), Nepal (79%), Kamboja ( 73%), Pakistan (43%).
Wakil Ketua KPAI, Maria Advianti ( 2017) menyebutkan Sekolah Ramah Anak menjadi solusi untuk mengatasi persoalan kekerasan di lembaga pendidikan. Sekolah Ramah Anak ini harus memiliki sejumlah kriteria. Seperti harus aman, memenuhi hak anak, melindungi dari kekerasan, sehat, peduli, berbudaya, serta mendukung partisipasi anak (KPAI.go.id, 21/2/2017).
Menurut Maria, menjadi penting dan strategis agar guru dan orangtua ada kesepahaman mengenai penanganan pendidikan anak di sekolah. Seluruh komponen sekolah yaitu Kepala Sekolah, guru, siswa, pegawai tata usaha, satpam, klining service, dan orangtua siswa harus memiliki perspektif yang sama mengenai pendidikan.( Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). (1). Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik (guru), tendik, sesama peserta didik atau pihak lain.
Apalagi, proses pendidikan yang berlangsung di sekolah, selama ini, dan ketika pandemi covid-19; melanda Indonesia dan dunia, tentu banyak kasus kekerasan verbal dan nonverbal yang dilakukan guru di sekolah. Sebab, selama kurang lebih selama tiga tahun, proses pendidikan dan pembelajaran berjalan abnormal. Belajar dari rumah berlangsung secara virtual. Banyak lika-liku dan yang akan mengarah, dan adanya kecendrungan tindakan kekerasan yang dilakukan guru di sekolah selama dan pascapandemi covid-19. Berpengaruh pada proses penguatan pendidikan karakter siswa dan juga guru, sebagai orang dewasa. Sebab tuntutan target kurikulum sekolah menurut versi guru tentu tidak berjalan secara normal. Menimbulkan dampak bagi kelangsungan proses pembelajaran yang dikakukan guru di kelas.
Sekolah Ramah Anak
Sejak tahun 2017, ada beberapa sekolah di kabupaten Manggarai Barat yang ditetapkan pemerintah daerah dan pemerintah pusat sebagai kelompok Sekolah Ramah Anak. Antara lain; SDN Labuan Bajo 2, SMP Negeri 1 Komodo, SMA Katolik St. Ignatius Loyola, dan terakhir, adalah SMK Katolik Stela Maris Labuan Bajo. Jadi, belum semua sekolah di kabupaten ini diterapkan sebuah kebijakan yang pro anak sebagai Sekolah Ramah Anak. Sementara dari hari ke hari, tindakan kekerasan sering terjadi di lingkungan sekolah, bahkan semakin menonjol. Bagaikan fenomena gunung es, sangat terselubung dan seperti bom waktu, akan meledak manakala siswa ngambek, tidak mau ke sekolah. Tidak ingin lihat muka guru pelaku kekerasan. Takut guru mata pelajaran tertentu. Takut mendapat olokan, hinaan, fitnahan, memberi label nama hewan, seperti disebut moyet, kambing, dan sebagainya. Diancam. Diskorsing, berlutut, perlakuan tidak adil dan main hakim sendiri. Sangat tidak bijaksana, tidak adil dan muncul kecendrungan guru untuk melakukan tindakan kekerasan di sekolah (di kelas).
Ada beberapa rekomindasi penting untuk guru di seluruh negeri tercinta, Stop Kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah. Agar anak tumbuh menjadi manusia dewasa, berkarakter, sehat fisik dan rohani, menuju masa depan yang bertanggungjawab dan sempurna.
Pertama, Membentuk Kepedulian di Sekolah. Keterlibatan guru di sekolah untuk membentuk karakter “kepribadian” siswa agar tumbuh kembang menjadi orang dewasa yang matang secara psikologis, dan fisik. Di samping itu keterlibatan peran orang tua di rumah, teman-teman di sekolah dan lingkungan pergaulan di masyarakat sekitar tempat tinggalnya.
Kedua, Mengasah dengan hati nurani yang bersih. Bantulah anak untuk menumbuhkan hati nuraninya yang baik. Tdak berbuat kasar, memberikan rasa aman di lingkungan sekolah. Jika dia berbuat salah, tugas guru untuk memperbaikinya. Bersikap terbuka dengan mengakui kesalahan di depan mereka dan minta maaf. Pelihara hati dan jiwa anak.
Ketiga, Mengembangkan rasa empati. Bantulah anak untuk menimbulkan rasa empati. Caranya, dengan mengajarkan anak mengenali macam-macam bentuk emosi sejak dini. Bantulah anak menjabarkan apa yang mereka rasakan.
Keempat, Berikan perhatian.
Jangan pernah mengabaikan anak. Salah satu alasan, pada remaja, melakukan tindakan kekerasan bisa jadi untuk mencari perhatian dari orang dewasa. Istilah kerennya, adalah MPO (mencari perhatian orang) sebagai batu lompatan untuk diperhatikan guru. Hanya guru kurang peka membaca tingkah laku psikologis anak.
Kelima, Bangun rasa percaya diri.
Mengapa anak bisa terjerumus pada lingkungan yang tidak baik? Salah satu alasannya karena tidak percaya diri dan mencoba membangun kepercayaan diri dengan masuk ke lingkungan yang merasa diakui, walapun lingkungan itu buruk. Oleh sebab itu, Buatlah anak percaya diri dengan memuji dan mengakui setiap perbuatan baik dan hasil karyanya.
Keenam, Hindari hukuman fisik.
Memberikan hukuman fisik dengan kekerasan akan meninggalkan bekas traumatis, dan akan memberi contoh buruk bagi anak. Kalau sering memberi hukuman fisik, akan menjadi imun( kebal) dan menganggap kekerasan adalah hal yang wajar. Menyetir pesan moral Pater Dr. Hubert Muda, SVD pada Seminar peran guru di lingkungan dunia pendidikan (2017), jangan mendidik anak dengan kekerasan karena akan menimbulkan luka batin dan trauma yang mendalam, akan sulit disembuhkan dan dapat dijadikan noda hitam kebudayaan.(Makalah Seminar HUT PGRI yang ke 71).
Demikian pandangan penulis tentang tindakan kekerasan untuk para pembaca budiman di ruang media online bagi kalangan guru dan orangtua di rumah. Guru di sekolah merangkap tugas sebagai orang tua juga, karena memiliki anak yang dilahirkan akan dididik oleh orang lain, juga merupakan seorang guru, memiliki anak yang akan dididik oleh orang lain juga yang adalah guru, bukan orang tuanya. Jadi, hidup seorang guru dan orang tua akan bergeser dan berputar fungsinya. Hari ini saya mendidik anak orang menjadi baik dan berkarakter, besok orang lain akan mendidik anak saya dengan visi dan misi yang sama. “Hukum tunai”. Apa yang kita tanam hari ini akan menuai besok sesuai apa yang harapkan untuk masa anak bangsa B3 (Bibit, Bebet dan Berbobot).